Senin, 08 September 2008

BURUH BERTERIAK: UNTUK APA?

Sejenak saya ingin mengajak Anda untuk menyimak beberapa cuplikan berikut ini. Cuplikan pertama: “In my dream, children sing a song of love for every boy and girl. The sky is blue and fields are green. And laughter is the language of the world. Then i wake and all i see. Is a world full of people in need?
Tell me why does it have to be like this? Tell me why is there something i have missed? Tell me why cos i don't understand. When so many need somebody, We don't give a helping hand. Tell me why?” Teks ini saya cuplik dari lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kecil Declan Galbraith.

Cuplikan kedua: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kita juga.” Cuplikan ini saya ambil dari bagian pengantar salah satu dokumen yang berjudul Gaudeum et Spes.
Cuplikan ketiga: “Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, dan bukan dalam mengutak-atik bahasa.” Seruan singkat ini berasal dari Pramoedya Ananta Toer, seperti dimuat dalam “Muhidin M Dahlan (ed), 81 Seruan untuk kemajuan bangsa dan kemuliaan martabat manusia, Vision03, 2006”.
Apa yang menarik dari cuplikan-cuplikan di atas? Cuplikan-cuplikan di atas hendak mengungkapkan idealisme, impian, cita-cita hidup manusia di satu sisi, dan mengungkapkan realitas atau fakta hidup manusia di sisi lain. Gaudeum et Spes dan Pramoedya Ananta Toer berkata tentang idealisme, impian dan cita-cita hidup manusia. Sementara Declan Galbraith hendak mengungkapkan realitas atau kenyataan hidup manusia. Yang menarik dari cuplikan-cuplikan ini adalah bahwa ternyata antara idealisme dan realitas itu tidak selalu berada pada posisi yang harmonis.
Gaudeum et Spes dan Pramoedya Ananta Toer menegaskan bahwa semua manusia dipanggil untuk menaruh kepedulian pada sesamanya, terutama yang miskin, terlantar, dan tertindas. Dan – ini yang terpenting – bahwa panggilan untuk peduli atau solider dengan sesama itu merupakan sesuatu yang merujuk langsung pada identitas dan jati diri manusia. Inilah makna keindahan yang dimaksudkan oleh Pramoedya. Keindahan yang diserukan oleh Pramoedya bukan semata-mata berususan dengan soal estetika. Sebaliknya keindahan yang diserukan oleh Pramoedya merupakan khazanah yang merujuk langsung pada pencitraan hidup manusia.
Apa yang diungkapkan oleh Gaudeum et Spes dan Pramoedya, oleh Declan Galbraith dipersoalkan. Declan Galbraith bertanya: “Mengapa di tengah hamparan manusia yang memerlukan kepedulian dan sikap solider sesamanya, ternyata hanya sedikit orang yang berani mengulurkan tangannya?”
Fakta semacam inilah yang seringkali dialami oleh para buruh. Setiap tahun para buruh beserta serikat-serikatnya meneriakkan upah yang layak, tetapi ternyata fakta berbicara lain. Setiap tahun para buruh berteriak: “tolak kenaikan BBM”, tetapai faktanya kenaikan BBM tetap naik. Dan masih ada sekian banyak rentetan teriakan penderitaan buruh yang tidak membuahkan apa-apa.
Buruh memang tidak memiliki modal dan kekuasaan untuk mengubah aneka kebijakan dan keputusan. Dan mungkin karena faktor-faktor ini, buruh setiap kali menjadi “barang” yang mudah untuk diperlakukan secara tidak adil.
Di antara sekian suara buruh yang setiap kali tidak pernah didengarkan; ditengah sekian banyak perjuangan buruh yang seringkali hanya dipandang sebelah mata; di tengah sekian banyak seruan buruh yang ternyata tidak mengundang rasa peduli dan solider; saya kira satu hal ini tak bisa dipungkiri oleh siapa pun, yaitu soal peran para buruh dalam mengungkapkan aneka bentuk penindasan dan perendahan martabat manusia. Hanya karena faktor uang dan kekuasaan, suara-suara penderitaan buruh mungkin tidak didengarkan, tapi siapakah yang berani membuktikan bahwa teriakan buruh itu sungguh-sungguh tidak menyentuh realitas kebenaran? Siapakah yang berani membuktikan bahwa dalam PHI tidak terjadi manipulasi dan pemerkosaan terhadap hak-hak buruh? Siapakah yang berani membuktikan bahwa di dalam system kontrak dan outsourching tidak terjadi perampasan terhadap hak-hak buruh?
Rekan-rekan buruh, kita berteriak untuk sebuah tatanan hidup yang adil dan bermartabat. Kendati seruan ini tidak menarik untuk didengarkan, kita harus terus berteriak.


[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 10 Juni 2008

ARTI LOGO WADAS

Logo Yayasan WADAS terdiri dari dua elemen. Yang pertama adalah karikatur foto di dalam logo. Karikatur ini adalah hasil olahan dari foto Romo van Stein. Elemen yang kedua adalah kata "WADAS". WADAS adalah peng-indonesia-an dari nama Romo van Stein CM. Beliau adalah perintis gerakan perburuhan untuk lingkup gereja katolik di wilayah keuskupan Surabaya. Lembaga perburuhan yang dididirikannya bernama KPK (Kerukunan Pekerja Katolik). Yayasan WADAS merupakan wujud pengembangan lebih lanjut dari KPK. KPK dan WADAS berjalan dalam horison spiritualitas yang sama, yaitu Ajaran Sosial Gereja dan Spiritualitas Kongregasi Misi yang ditanamkan oleh Romo van Stein CM. Yang membedakan WADAS dan KPK adalah bentuk dan format gerakannya. KPK lebih merujuk pada rekan-rekan buruh katolik. Sementara nada dasar gerakannya lebih bernuansa rohani dan komuniter. Lain halnya dengan WADAS. Yayasan ini dimaksudkan sebagai supporting system gerakan perburuhan pada umumnya. Pertimbangan agama dengan demikian tidak diperhitungkan. Fokus gerakan WADAS adalah pelatihan dan penelitian. Untuk siapa? Untuk serikat-serikat buruh, untuk aliansi-aliansi serikat buruh.

[+/-] Selengkapnya...

YAYASAN WADAS © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO